Aku berjalan-jalan menelusuri sungai di desaku. Ku lihat beberapa benda terapung melaju bersama derasnya arus sungai. Ada yang berwarna hijau, coklat, dan kuning. Beberapa warna itu hanyut dengan ugal-ugalan, saling bertabrakan dan terkadang salah satu dari mereka membelah diri bagai Ameba, terutama yang berwarna kuning.
Ada satu warna yang aku amati, yaitu warna coklat. Warna dari benda itu nampak besar dan berbentuk seperti diriku sendiri. Tak lama kemudian, benda itu semakin mendekat dan terus mendekat. Ternyata benar, benda berwarna coklat itu mirip dengan diriku. Tak lain dan tak bukan, dia adalah manusia yang mengapung bersama unsur-unsur lain seperti dedaunan maupun benda berwarna kuning yang sudah membelah diri tadi. Serentak aku berteriak dan berlari sekecang-kencangnya, agar seluruh alam ini bergetar oleh suaraku.
“Tolong... tolong... ada mayat!!!”
Aku berteriak-teriak hingga terkadang suaraku habis karena letak dari sungai itu memang jauh dari peradaban. Kakiku berlari menuju desa yang ku tinggali, aku pun kembali berteriak dengan lantang dan penuh harap.
“Tolong... ada mayat!!!”
“Di mana?!” tanya Pak Huda, seorang bencong tua yang sudah taubat.
“Itu di sungai! Panggil semua warga!!!”
Pak Huda pun langsung lari menuju masjid. Ia umumkan berita duka yang tidak disangka-sangka oleh siapa saja. Beberapa warga yang mendengar berita itu langsung keluar rumah untuk mengikutiku menuju sungai.
“Lah, ini kan Diki?!” ujar salah satu warga desaku.
“Diki, anaknya Pak Langit juragan sapi itu?!” tanyaku bingung.
“Iya! Ini saudara kembarmu tau!” ucap Pak Huda sembari menepuk kepalaku.
“Oalah, hehe. Makanya kok mirip gitu,” ucapku sambil tersipu malu. “Hah?! Berarti dia adekku! Adekkuuuu!!! Tidaaaaakkkkkk!!!”
Tersadar dalam kebingungan warga, aku menangis dengan penuh duka. Adikku, yang selama ini aku anggap seperti saudara sepupuku sediri meninggalkanku tanpa alasan yang jelas.
Beberapa warga membantuku mengangkat jenazah kembaranku itu menuju rumah. Kedatangan kami disambut haru oleh kedua orang tuaku. Mereka menangis tersedu-sedu karena melihat anak kesayangannya telah pergi dengan jalur yang tidak keren.
Engas dari badan kembaranku ini menebar ke rumah-rumah tetangga. Karena ayahku tak ingin menanggung malu yang lebih, ia langsung menguburkan jenazah kembaranku ini tepat di hari itu. Semoga arwah kembaranku tenang di sisiNya.