penulis analisis: Arum Barkah
Informasi cerpen:
judul Cerpen: Kain Perca Ibu
pengarang: Andrei Aksana
penerbit: Kompas
tahun terbit: 6 Februari 2011
cetakan: Pertama
jumlah halaman: Satu Halaman
Cerpen yang berjudul “Kain Perca Ibu” karangan Andrei Aksana ini merupakan cerpen yang bertemakan kenangan. Tema yang diambil ini cukup menarik mengingat saat ini banyak sekali orang-orang yang sudah melupakan kenangan atau sejarah masa lalu dari dirinya sendiri, keluarga, bahkan dari negara. Padahal kenangan-kenangan inilah yang menentukan kehidupan kita, baik kenangan baik maupun kenangan yang buruk. Ada yang hidupnya terbelenggu oleh kenangan, ada juga yang dapat menjalani kehidupannya dengan baik karena hikmah yang dipetik dari kenangan tersebut.
Dalam cerpen tersebut juga menonjilkan nilai-nilai sosial budaya masyarakat jawa, khususnya Jawa Tengah. Sesuai dengan latar tempat pada cerpen tersebut yaitu di Magelang, masyarakatnya memiliki nilai-nilai sosial budaya yang melekat dalam kehidupan masyarakat Jawa. Nilai-nilai luhur tersebut selalu dipertahankan sebagai warisan budaya yang luhur dan menjadi identitas masyarakat jawa.
Dengan nilai-nilai tersebut akan terlihat ciri khas masyarakatnya jawa pada umumya seperti, mengarahkan masyarakat kepada nilai-nilai luhur yang mulia dan akan mampu menjaga masyarakatnya dari hal-hal yang bisa merusak nilai-nilai yang mulia tersbut. Inilah salah satu alasan cerpen ini menjadi unik dan menarik.
Dikisahkan ada sebuah keluarga yang terdiri dari bapak, ibu, dan 4 anak perempuan. Sang ibu ini gemar sekali menyimpan baju-baju yang memiliki kenangan-kenangan penting selama hidupnya. Kebaya yang dipakai ibu saat menikah dengan bapak disimpannya karena kebaya itu dijahit ibunya ibu dari kain gorden dalam keadaan terburu-buru karena perang. Ada juga baju bayi anak perempuan pertama ibu yang dijahitnya sendiri. Kegemaran ini dilakukannya semenjak ibu menikah dengan bapak. Dalam keluarga mereka juga memiliki sebuah tradisi yang sangat unik. Semua anak-anak perempuan ibu berkumpul dan duduk melingkar bersama ibu. Kemudian sang ibu bercerita tentang kenangan dari sebuah baju yang telah lama disimpannya.
Setelah selesai bercerita, ibu pasti memberikan baju lama tersebut kepada seorang anak perempuan yang dianggap pantas menerimanya. Hebatnya, baju simpanan ibu itu masih terlihat rapi, bersih, dan menarik karena dijahit kembali oleh ibu. Anak yang paling sering menerimanya dianggap anak yang paling dicintai oleh ibu mereka. Saat bapak meninggal, ibu sangat terpukul dan tidak memiliki semangat hidup. Anak-anak ibu sangat mengerti bagaimana kesedihan ibu mereka yang ditinggalkan oleh pasangan hidupnya. Betapa tidak, semua baju yang disimpan memiliki banyak kenangan yang mengingatkannya pada bapak. Cerita masa lalu ibu pun juga terhenti begitu saja. Mereka sebenarnya sangat sedih dengan keadaan ibu, tetapi mereka tidak pernah menyerah membuat ibu kembali seperti dulu. Tiba-tiba ibu memanggil semua anak dan cucunya untuk berkumpul. Mereka menduga ibu akan memulai tradisi berceritanya lagi. Tetapi yang terjadi tidak demikian. Ibu mengeluarkan sebuah bed cover yang dijahitnya sendiri dari potongan-potongan baju yang memiliki banyak kenangan itu. Semua pun menjadi kaget dan tidak percaya. Baju yang selama ini dianggap sebagai album kenangan, tiba-tiba berubah menjadi kain perca. Ibu menasihati mereka supaya tidak terbelenggu oleh kenangan. Ibu juga meminta baju-baju lama anak-anaknya kemudian mengguntingnya dan menjahitnya menjadi taplak meja, alas gelas, bed cover, dan sebagainya. Keluarga mereka sekarang terbiasa menertawakan kenangan. Tak lama kemudian, ibu meninggal dunia. Semua sangat sedih dan tidak percaya dengan kematian ibu, bahkan tak sanggup untuk membereskan barang-barang ibu. Setelah cukup kuat untuk menerima kepergian ibu, mereka pun membereskan barang-barang ibu, termasuk baju-bajunya. Mereka membuka almari ibu kemudian menemukan baju-baju bapak terlipat rapi dan tidak digunting-gunting menjadi kain perca.
Alur yang terdapat pada cerpen tersebut merupakan cukup runtut. Seperti alur maju yang menceritakan tentang kejadian yang terjadi dalam keluarga ibu dan alur mundur tentang kenangan-kenangan ibu diceritakan secara lengkap dan jelas. Bahasa yang digunakan oleh pengarang cukup komunikatif dan tidak sulit untuk dipahami pembaca sastra pemula karena jarang menggunakan diksi dan kiasan-kiasan tertentu.
Cerpen ini sangatlah menarik. Karena dalam cerpen tersebut menonjilkan nilai-nilai sosial budaya masyarakat jawa, khususnya Jawa Tengah. Dalam cerpen “Kain Perca Ibu” ada beberapa nilai-nilai sosial budaya yang tergambarkan. Pertama, tradisi “sungkeman”, dalam masyarakat jawa, setiap hari raya idul fitri ada tradisi berupa sungkeman. Tradisi yang menjadi budaya masyarakat tersebut sampai sekarang masih ada. Dalam tradisi tersebut, setiap anggota keluarga yang lebih muda akan mendatangai anggota keluarga yang lebih tua untuk meminta maaf (saling memaafkan) untuk meminta maaf dan meminta untuk dido’akan, makan ketupat dan opor sebagai petanda adannya perayaan lebaran, dan berkumpulnya anggota keluarga di dalam rumah untuk berbincang-bincang. Dalam kegiatan ini, orang tua menjadi sentralnya (paragraf ke 12). Kegiatan sungkeman, makan ketupat dan opor, serta berkumpulnya seluruh anggota keluarga tersebut menjadi sebuah nilai sosial dalam masyarakat jawa sebgai ajang silaturahmi untuk mempererat hubungan kehangatan antar aggota keluarga.
Kedua, penghormatan terhadap orang tua. Orang tua dalam nilai sosial dan budaya masyarakat Jawa menduduki posisi yang tinggi. Orang tua adala figur yang mampu dijadikan teladan dalam sebuah keluarga. Orang tua dalam sebuah keluarga dipandang sebagai sosok yang mampu memimpin, mengayaomi dan mengawasi anggota keluarganya, terutama anak-anaknya. Oleh karena itu, dalam cerpen tersebut sangat ditonjolkan penghormatan kepada orang tua. Seperti yang terdapat dalam (paragraf 12 dan 17).
Adapun nilai yang ketiga adalah tradisi “nyekar”. Nyekar adalah tradisi berupa mendatangi makam keluaraga yang sudah meninggal. Dalam bahasa masyarakat umum disebut ziarah kubur. Nyekar adalah tradisi yang berisi kegiatan mengunjungi makam, kemudian mendo’akan orang yang sudah meninggal, membersihkan lingkungan makam dan mengingat kematian. Budaya ini, dalam cerpen tersebut tertuang dalam (paragraf 19 baris 1).
Nilai yang terakhir adalah kebaya, kebaya merupakan pakaian adat orang jawa yang biasannya di gunakan khusus pada acara-acara tertentu saja seperti mantenan, syukuran, perayaan hari besar dan sebagainya. Dengan pakaian kebaya mengidentikkan bahwa wanita jawa itu lemah lembut, alus dan sopan tutur katannya.
Namun dari menariknya cerpen tersebut, terdapat juga beberapa hal yang kurang menarik, seperti, alur maju dan alur mundur yang memungkinkan pembaca untuk lebih berkonsentrasi lagi dalam memahami jalan cerita pada cerpen tersebut. Adanya bahasa pada cerpen yang menyisipkan beberapa percakapan dalam bahasa daerah (Bahasa jawa) tanpa tambahan keterangan maknanya diakhir cerita membuat pembaca yang bukan dari Suku Jawa tidak mengerti maksud yang disampaikan.
Terlepas dari rentetan analisa cerpen tersebut, cerpen ini memiliki banyak manfaat bagi pembaca, cerpen ini memberikan nasehat bahwa masa lalu pasti ada yang harus dikenang dan dilupakan. Kenangan akan masa lalu memiliki banyak hikmah yang dapat digunakan untuk menjalani kehidupan, walaupun kita semua tahu bahwa masa lalu tidak akan terulang lagi. Tetapi kita juga tidak boleh terbelenggu dengan semua kenangan yang kita miliki. Manusia hidup tidak untuk masa lalu, tetapi untuk masa depan. Teruslah berjalan dan jangan menengok ke belakang. Anggaplah masa lalu sebagai bagian dari hidup kita yang menjadikan kita mampu untuk melangkah ke depan dengan percaya diri.